Terminologi Poligami dalam berbagai agama

 on 04 March 2015  

CERAMAH SINGKAT, Terminologi poligami selalu menjadi perbincangan yang tak kunjung habis, semakin terminologi poligami dalam berbagai agama agama di dunia, dalam hal ini kami memasukkan agama ardhi sebagai sebuah kredo agama seperti hindu, budha, kristen dan terutama islam, karena penulis masih punya banyak tulisan yang berkaitan dengan poligami dan akan kami posting di beberapa hari ke depan, ikuti kelanjutannya.

Poligami semakin digali semakin bermunculan efek sosial dan problematika keluarga yang muncul, terlebih lagi bila kedua belah pihak sudah mempunyai tanggung jawab keluarga, dapat dipastikan efek dominonya akan bermunculan untuk menyandinginya, tulisan ini bukan bermaksud menjadi tulisan yang berbau sarkasme tetapi melihatfakta yang terjadi di beberapa kasus poligami, karena semua lintasan hidup manusia tentu berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. mungkin atas dasar pertimbangan efek sosial dan keluarga inilah sehingga di beberapa negara poligami dipuskan seperti Tunisia dan Turki

Diakui atau tidak diakui ‘poligami’ seolah-olah menjadi sebuah nama monster menakutkan bagi sebagian besar kaum hawa, karena itu poligami harus mendapat ruang tersendiri untuk membicarakannya lebih detail namun dalam tulisan ini hanya sebatas memberikan muqaddimah pandangan agama agama di dunia tentang prinsip dasar yang dipakai sebagai batu pijakan kasus poligami. Kami tidak tahu persis apa landasan poligami agama-agama lain selain Islam, tetapi yang kami tahu dari beberapa sumber antara lain akan dikemukakan di bawah ini.

Dalam soal keluarga hampir tidak ada yang bertentangan kecuali soal poligami dan nikah beda agama, nikah beda agamapun mempunyai aturan tersendiri di dalam Islam, dan pada dasarnya pernikahan beda agama juga tidak di anjurkan. Hal itu dilakukan hanya semata mata sebagai alasan terakhir jika menemui jalan buntu. Pada mulanya arti Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, bila istri memiliki beberapa pasangan biasanya lebih dikenal dengan nama poliandri, definisi ini sama halnya menurut antropologi sosial.

Menurut pagangan hukum Hindu, poligami adalah hal dilarang, biasanya hanya dilakukan oleh sebagian kecil penganutnya dari kasta tertentu saja denga alasan unsur politis dan strategis. Misalnya Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo ‘dhayayah) ada pasal yang berbunyi "Asapinda ca ya matura, sagotra ca ya pituh, sa prasasta dwijatinam, dara karmani maithune." Artinya, Seorang gadis yang bukan sapinda dari garis-garis ibu, juga tidak dari keluarga yang sama dari garis bapak dianjurkan untuk dapat dikawini oleh seorang lelaki dwijati." Pengertiannya adalah perkawinan itu dianjurkan satu orang gadis mempunyai satu orang laki-laki (monogami) itupun dipilihkan suami iyang sudah dwijati (mapan dan mandiri). 

Kita tahu bahwa cerita maha bharata yang banyak diilhami agama Hindu memang banyak mengisahkan praktek poligami, sebut saja Prabu Pandhu Dewanata yang mempunyai isteri Dewi Madrim dan dewi Kunthi, atau Werkudara yang mempunyai isteri Dewi Nagagini, Dewi Arimbi dan Dewi Urang Ayu, tentu kisah ini kurang tepat jika dijadikan sebagai landasan poligami secara umum. Mereka memiliki kasta tersendiri. Begitupula dalam agama Yahudi, meskipun tidak melarang namun sebagian penganutnya, kini berbagai kalangan dalam agama Yahudi melarangnya

Lain lagi dengan Budha, yang tidak menegaskan relegiusitas boleh dan tidaknya berpoligami, Budha Gautama hanya memberikan nasehat tentang cara berumah tangga, tidak menyebutkan secara detail hukum berpoligami.

Dalam Agama Islam yang paling sering dipakai landasan untuk berpoligami adalah QS. An Nisa’: 2
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam ayat tersebut di atas adalah ayat yang berkaitan dengan anak yatim yang kemudian berlanjut dengan menikah lebih dari satu, tentu ada makna implisit dari penyebutan anam yatim di sana, dan perlu dikaji ulang bahwa dalam surat an-Nisa ini beberapa ayat setelahnya masih berkaitan dengan pemeliharaan anak yatim sebelum membahas soal pembagian warisan. Poligami yang dilakukan oleh Rasul pada 8 Tahun usianya sebelum meninggal berpulang keharibaan-Nya adalah sebuah pernikahan yang berdimensi ibadah sosial untuk menaikkan derajat perempuan dikalangan Arab yang feodal pada masa itu, yang dinikahipun mayoritas adalah janda yang ditinggal suaminya meninggal dunia kecuali Aisyah ra.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162)

Dasar inilah yang dipakai oleh kalangan agamawan untuk menentang praktik poligami, Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga. Yang harus diingat adalah, suami tidak boleh bersifat egoistik mementingkan mawadah untuk dirinya sendiri tanpa memperhatikan mawaddah orang lain (isteri), karena prinsip dasar keluarga bahagia adalah saling memiliki tanpa pamrih (mawaddah). Sampai di sini tulisan terminologi poligami ditinjau dari berbagai agama, kami akan mempertajam pada postingan berikutnya tentang poligami menurut agama Islam, karena selalu memberikan peringatan kepada hati agar tetap istiqomah dan berjalan di rel agama yang sesungguhnya.. amiiiin.



J-Theme